SELAMAT DATANG TELAH BERKUNJUNG DI BLOG KAMI AHBAB MERAUKE AHBAB MERAUKE /Abdul fatah Halaqoh Semangga: Juli 2018

Sabtu, 21 Juli 2018

Curhat Seorang Da,i

"Ustadz, dulu Ana semangat dalam Dakwah. Tapi belakangan rasanya semakin hambar. Ukhuwah makin kering. Bahkan Ana melihat ternyata banyak pula yang aneh-aneh."

Begitu keluh kesah seorang Da'I kepada ustadznya di suatu hari.

Sang Ustadz hanya terdiam, mencoba menggali semua kecamuk dalam diri Da'i tsb

"Lalu, apa yang ingin Antum lakukan setelah merasakan semua itu?" sahut sang ustadz setelah sesaat termenung.
"Ana ingin berhenti saja, keluar dari jamaah ini. Ana kecewa dengan perilaku beberapa teman yang justru tidak Islami muamalah, muasyarah & akhlak mereka.. Juga dengan jamaah Dakwah yang Ana geluti, kaku dan sering mematikan potensi anggota-anggotanya. Bila begini terus, Ana mendingan sendiri saja..." jawab Da'i itu.

Sang ustadz termenung kembali. Tidak tampak raut terkejut dari roman wajahnya. Sorot matanya tetap terlihat tenang, seakan jawaban itu memang sudah diketahuinya sejak awal.

"Akhi, bila suatu kali Antum naik sebuah kapal mengarungi lautan luas. Kapal itu ternyata sudah amat bobrok. Layarnya banyak berlubang, kayunya banyak yang keropos bahkan kabinnya bau kotoran manusia. Lalu, apa yang akan Antum lakukan untuk tetap sampai pada tujuan?"

tanya sang Ustadz dengan kiasan bermakna dalam.
Sang Da'i terdiam berpikir. Tak kuasa hatinya mendapat umpan balik sedemikian tajam melalui kiasan yang amat tepat.

"Apakah Antum memilih untuk terjun ke laut dan berenang sampai tujuan?" Sang ustadz mencoba memberi opsi.

"Bila Antum terjun ke laut, sesaat Antum akan merasa senang. Bebas dari bau kotoran manusia, merasakan kesegaran air laut, atau bebas bermain dengan ikan lumba-lumba. Tapi itu hanya sesaat. Berapa kekuatan Antum untuk berenang hingga tujuan? Bagaimana bila ikan hiu datang? Darimana Antum mendapat makan dan minum? Bila malam datang, bagaimana Antum mengatasi hawa dingin?" serentetan pertanyaan dihamparkan di hadapan Da'i.

Tak ayal, Sang Da'i menangis tersedu-sedu tak mampu ia menahan air matanya. Tak kuasa rasa hatinya menahan kegundahan sedemikian. Kekecewaannya kadung memuncak, namun Sang ustadz yang dihormatinya justru tidak memberi jalan keluar yang sesuai dengan keinginannya.

"Akhi, apakah Antum masih merasa bahwa jalan Dakwah adalah jalan yang paling utama menuju ridho Allah?" Pertanyaan menohok ini menghujam jiwa Sang Da'i. Ia hanya mengangguk.

Sang Da'i tetap terdiam dan tertunduk dalam sesenggukan tangis perlahannya. Tiba-tiba ia mengangkat kepalanya, "Cukup Ustadz, cukup. Ana sadar. Maafkan Ana. Ana akan tetap istiqomah. Ana berdakwah bukan untuk mendapat medali kehormatan. Atau agar setiap kata-kata Ana diperhatikan..."

"Biarlah yang lain dengan urusan pribadi masing-masing. Ana akan tetap berjalan dalam Dakwah ini. Dan hanya Allah saja yang akan membahagiakan Ana kelak dengan janji-janji-Nya.

Biarlah segala kepedihan yang Ana rasakan jadi pelebur dosa-dosa Ana", Sang Da'i berazzam di hadapan ustadz yang semakin dihormatinya utk tetap berdakwah walau apaun yg terjadi.
Sang ustadz tersenyum.

"Akhi, jama'ah ini adalah jama'ah manusia. Mereka adalah kumpulan insan yang punya banyak kelemahan. Tapi di balik kelemahan itu, masih amat banyak kebaikan yang mereka miliki. Mereka adalah pribadi-pribadi yang menyambut seruan Allah untuk berDakwah. Dengan begitu, mereka sedang berproses menjadi manusia terbaik pilihan Allah."

"Bila ada satu dua kelemahan dan kesalahan mereka, janganlah hal itu mendominasi perasaan Antum. Sebagaimana Allah ta'ala menghapus dosa manusia dengan amal baik mereka, hapuslah kesalahan mereka di mata Antum dengan kebaikan-kebaikan mereka terhadap Dakwah selama ini.

Sang Da'i termenung merenungi setiap kalimat ustadznya. Dia tdk kuasa menahan air matanya, akhirnya dia menyadari kekhilafannya. Ia bertekad untuk tetap istiqamah dakwah bersama jama'ah dalam mengarungi jalan Dakwah.

Bersedia semua tetap istiqomah di jalan Dakwah ini sampe mati.....insya Allah.......
❤❤❤❤

Kamis, 19 Juli 2018

Meninggal Keluarga Sementara Untuk Agama

BUKAN HANYA 3 HARI-40 HARI-4 BULAN ATAUPUN 1 TAHUN TETAPI 30 TAHUN MENINGGALKAN ISTRI DAN ANAKNYA UNTUK AGAMA.

Lelaki berumur enam puluh tahun itu memasuki rumahnya di Madinah. Nyaris tak mengenali lagi rumah yang pernah ditinggalinya itu. Ia menemukan rumah itu, saat menyusuri jalan-jalan di kota Madinah, yang sudah ramai.
Rumahnya yang sangat sederhana itu, pintunya agak terbuka, dan nampak lengang. Lelaki itu meninggalkan rumahnya, tiga puluh tahun lalu, dan waktu itu isterinya masih belia, dan menjelang melahirkan anak pertamanya.
Lelaki tua itu meninggalkan Madinah pergi berjihad ke negeri yang sangat jauh. Ia berangkat bersama pasukan muslimin. Membuka Bukhara dan Samarkand, dan sekitarnya, yang terletak di Asia Tengah. Begitu jauh perjalanan jihad bersama pasukan muslimin, mengarungi samudera padang pasir, menembus perjalanan beribu-ribu mil dari kota Madinah. Sungguh sangat luar biasa para mujahidin itu. Kepergiannya dengan tekad dan tawakal kepada Allah Azza wa Jalla.
Menjelang Isya’ dengan kuda yang ditungganginya itu, prajurit tua itu, memasuki kota Madinah, yang masih ramai, dan melihat kehidupan yang tidak berubah, sesudah ditinggalkannya selama tiga puluh tahun. 
Namun, ingatannya yang tajam, akhirnya lelaki tua itu, menemukan rumahnya kembali, yang masih tampak sederhana, dan didapati pintunya sedikit terbuka. 
Kegembiraan menggelayut, dan merasa yakin bertemu dengan kembali dengan isterinya yang lama ditinggalkan itu.
Si penghuni rumah melihat ada orang yang masuk rumahnya, maka lelaki yang ada di atas, langsung melompat, dan turun sambil membentak lelaki tua yang datang itu, “Engkau berani memasuki rumah dan menodai kehormatanku malam-malam, wahai musuh Allah?”. 
Si penghuni rumah mencengkeram leher lelaki tua, seraya mengatakan, 
“Wahai musuh Allah, demi Allah aku takkan melepaskanmu kecuali di muka hakim”, sergahnya.
Lelaki tua yang baru datang itu berkata, 
“Aku bukan musuh Allah dan bukan penjahat. 
Ini rumah milikku, kudapati pintunya terbuka lalu aku masuk”. 
Lelaki tua itu melanjutkan, 
“Wahai saudara-saudara, dengarkanlah. 
Rumah ini milikku, kubeli dengan uangku. 
Wahai kaum, aku adalah Farrukh. 
Tiadakah seorang tetangga yang masih mengenali Farrukh yang tiga puluh tahun lalu pergi berjihad fi sabilillah?”
Bersamaan itu, ibu si empunya rumah yang sedang tidur itu bangun oleh keributan, lalu menengok dari jendela atas dan melihat suaminya sedang bergulat dengan darah dagingnya sendiri. 
Lidahnya nyaris tak berucap. Dengan nada yang kuat ia berseru, 
“Lepaskan .. lepaskan dia, Rabiah … lepaskan dia, putraku, dia adalah ayahmu .. dia ayahmu … 
Saudara-saudara sekalian tinggalkan mereka, semoga Allah memberkahi kalian. Tenanglah, Abu Abdirrahman, dia putramu .. dua putramu .. jantung hatimu …
Lalu, Ar-Rabi’ah mencium tangan ayahnya. 
Orang-orang meninggalkan keduanya. 
Setelah itu, isterinya Ummu Rabi’ah menyambut suaminya dan memberi salam. 
Ummu Rabi’ah tak mengira bahwa ia akan bertemu kembali dengan suaminya yang pergi berjihad selama tiga puluh tahun itu.
Saat-saat bahagia antara Farrukh dengan Ummu Rabi’ah, terkadang duduk berdua, sambil bercerita keduanya selama berpisah tiga puluh tahun. Mereka mendapatkan kebahagiaan kembali, keduanya dapat bertemu, meskipun sekarang suaminya telah berumur enam puluh tahun. Namun, saat itu muncul kekawatiran dari Ummu Rabi’ah tentang uang yang pernah dititipkan oleh suaminya dahulu, dan ia harus menjaganya. 
Karena uang yang dititipkan suaminya itu, habis untuk membiayai pendidikan putranya senilai 30.000 dinar. “Percayakah Farrukh bahwa pendidikan putranya itu menghabiskan 30.000 dinar”, gumam Ummu Rabi’ah.
Selagi pikirannya mengelayut itu, tiba-tiba Farrukh, yang duduk disampingnya itu berkata, 
“Aku membawa uang 4.000 dinar. 
Ambillah uang yang aku titipkan kepadamu dahulu. Kita kumpulkan lalu kita belikan kebun atau rumah, dan akan kita ambil sewanya”, 
ucap Farrukh kepada Ummu Rabi’ah.
Pembicaraan terputus saat adzan datang. Farrukh bergegas menuju masjid, seraya menanyakan, 
“Mana Ar-Rabi’ah?’ 
Isterinya menjawab, 
“Dia sudah lebih dahulu berangkat ke masjid. 
Saya kira engkau akan tertinggal shalat berjama’ah”. Dia segera shalat, dan sesudah itu pergi ke Rhaudah mutharah, berdo’a di dekat makam Rasulullah, karena betapa rindunya dia dengan Rasulullah.
Saat mau meninggalkan masjid, begitu ramai orang yang sedang mengelilingi seorang ulama, yang belum pernah melihat sebelumnya. Mereka duduk melingkari Sheikh itu. Sampai tak ada tempat yang kosong untuk dapat berjalan. 
Farrukh mengamati, ternyata orang-orang yang hadir, ada yang sudah lanjut usia, anak-anak muda, mereka semua duduk sambil menghamparkan lututnya. 
Semuanya menghadapkan pandangan kepada Sheikh.
Farrukh itu berusaha melihat wajah Sheikh yang luar biasa itu, tetapi tak dapat, karena begitu banyaknya orang yang mengelilinginya. 
Sampai saat majelis itu usai. Orang-orang meninggalkan masjid. Kemudian di tengah-tengah suasana yang sudah mulai sepi itu Farrukh bertanya kepada salah seorang yang masih tinggal di masjid itu.
Farrukh: 
“Siapakah Sheikh yang baru saja berceramah itu?”
Fulan: 
“Apakah anda bukan penduduk Madinah?”
Farrukh: 
“Saya penduduk Madinah”.
Fulan: 
“Masih adakah di Madinah ini orang yang tak mengenal Sheikh yang memberikan ceramah itu?”
Farrukh: 
“Maaf, saya benar-benar tidak tahu, karena saya sudah meninggalkan kota ini sejak 30 tahun yang lalu, dan baru kemarin tiba”
Fulan: 
“Tidak apa. Duduklah sejenak, saya akan menjelaskannya. Sheikh yang anda dengarkan ceramahnya itu adalah seorang tokoh tabi’in. Termasuk diantara ulama yang paling terpandang, dialah ahli hadist di Madinah, fuqaha dan imam kami, meksipun masih sangat muda”. 
Majelisnya dihadiri oleh Malik bin Anas, Abu Hanifah, An-Nu’man, Yahya bin Sa’id Al-Anshari, Sufyan Tsauri, Abdurrahman bin Amru Al-Auza’I, Laits bin Sa’id dan lainnya”.
Farrukh: 
“Tetapi anda belum menyebutkan namanya?”
Fulan: 
“Namanya adalah Ar-Rabi’ah Ar-Ra’yi”.
Farrukh: 
“Namanya Ar-Rabi’ah Ar-Ra’yi?”
Fulan: 
“Nama aslinya Ar-Rabi’ah, tetapi para ulama dan pemuka Madinah biasa memanggilnya Ar-Rabi’ah Ar-Ra’yi. Karena setiap menjumpai kesulitan tentang nash dari Kitabullah yang tidak jelas, mereka selalu bertanya kepadanya”.
Farrukh: 
“Anda belum menyebutkan nasabnya?”
Fulan: 
“Dia adalah Ar-Rabi’ah putra Farrukh yang memiliki kunyah (julukan) Abu Abdurrahman. Tak lama dilahirkan setelah ayahnya meninggalkan Madinah sebagai mujahid fi sabilillah, lalu ibunya memelihara dan mendidiknya. Tetapi sebelum shalat tadi orang-orang ramai mengatakan ayahnya telah datang kemarin malam.”
Tiba-tiba meleleh air mata Farrukh, tanpa lawan bicaranya mengerti mengapa Farrukh melelehkan air matanya.
Sesampai di rumah isterinya Ummu Rabi’ah melihat suaminya meneteskan air matanya, dan bertanya kepada suaminya, 
isterinya : 
“Ada apa wahai Abu Abdirrahman?” 
Suaminya menjawab : 
“Tidak ada apa-apa. Aku melihat putraku berada dalam kedudukan itu dan kehormatan yang tinggi, yang tidak kulihat pada orang lain”, tukasnya.
Di ujung kehidupan itu, Ummu Rabi’ah bertanya kepada suaminya, 
“Menurutmu manakah yang lebih engkau sukai, uang 30.000 dinar, atau ilmu dan kehormatan yang telah dicapai putramu?”. 
Farrukh menjawab : 
“Demi Allah, bahkan ini lebih aku sukai dari pada dunia dan seisinya”, ucapnya.
Begitulah kisah generasi Tabi’in yang penuh kemuliaan, dan peranan seorang ibu yang ditinggal oleh suaminya berjihad ke negeri yang sangat jauh, selama tiga puluh tahun, dan dapat mendidik putranya menjadi seorang ulama besar dan memiliki ilmu dan kehormatan yaitu Ar-Rabi’ah. 
Wallahu’alam.

Subhanallah ...

Jumat, 13 Juli 2018

APAKAH HAZRAT MAULANA SA'AD SAHAB DB ADALAH AMIR ?

Penyajian adalah sebuah analisis dari krisis saat ini dalam Tabligh pada pertanyaan : "Siapakah Amir Tabligh ?"

1. Maulana In'amul-Hasan Sahab ra, (Amir ketiga Tabligh), diberi saran oleh Haji Abdul Wahab Sahab Pakistan untuk memilih Amir sebelum masa meninggalnya.

2. Maulana In'amul-Hasan Sahab ra menunjuk sebuah grup terdiri dari 10 orang untuk menentukan pergantian dirinya, mirip dengan apa yang dilakukan Hazrat Umar ra sebelum masa kewafatannya. Metode penunjukan Amir ini dikenal sebagai Sunnah Faruqi dan bukti atas hal ini ditemukan dalam kitab-kitab utama Hadits, termasuk Bukhari.

Diantara grup dari 10 orang-orang itu yakni seperti Maulana Sa'id Ahmad Khan Sahab, Maulana Umar Palanpuri, Mufti Zainul Abidin, Mia Ji Mehrab Sahab dan juga Maulana Sa'ad dan Maulana Zubair Sahab.

Point kunci : Maulana In'amul Hasan Sahab ra tidak memasukkan Maulana Ibrahim Dewla Sahab & Maulana Ahmad Laat Sahab dalam grup ini, meskipun mereka lebih secara senioritas. Hanya Allah swt yang tahu kebijaksanaan terbaik dibalik perkara ini.

Oleh karena itu, mereka (yakni Maulana Ibrahim dan Maulana Ahmad Laat) menyangka dengan klaim bahwa Maulana In'amul Hasan Sahab ra berniat menjadikan Tabligh supaya dijalankan oleh sebuah Syura (lembaga konsultatif) sebagai lawan dari seorang Amir justru tak berdasar oleh sebab mereka pun tak hadir di ruangan pada saat diskusi ini berlangsung.

3. Ketika Maulana In'amul Hasan Sahab ra meninggal dunia, syura bertemu untuk menentukan siapa yang harus menjadi Amir. Sebagian besar pendapat adalah untuk Maulana Zubair & Maulana Saa'd Sahab.

Point kunci : Tinjaulah kaliber/kapasitas dari Maulana Sa'ad bahwa pada usia tak lebih dari 30 tahun, pendapat ditujukan kepadanya untuk menjadi Amir, meskipun adanya kehadiran orang-orang unggul dan lebih lanjut usia seperti yang telah disebutkan pada point 2 diatas.

4. Sebuah kesepakatan tercapai bahwa akan ada 3 Amir : Maulana Izhar Sahab ra, Maulana Zubair Sahab ra & Maulana Sa'ad Sahab db. Pemahaman diantara mereka dan tampaknya pada dokumen yang ditandatangani yang menunjuk 3 dari mereka adalah bahwa tak ada Amir baru yang akan diangkat selama salah satu dari mereka masih hidup. Dengan kata lain, ketika 2 dari mereka meninggal, maka yang tersisa akan menjadi Amir. Mereka akan menjalankan urusan-urusan kerja Tabligh berdasarkan musyawarah diantara mereka.

Tiga pertanyaan muncul :

(A) Mengapa 1 Amir tidak diangkat ?

Jawaban :
Ada 2 jawaban yang diberikan disini. Salah satunya adalah bahwa tak ada konsensus/kesepakatan pada satu orang sehingga sebuah kompromi dari 3 Amir dicapai. Hanya 3 nama ini yang secara konsisten akan dilanjutkan.

Jawaban kedua yang diberikan adalah bahwa jika salah satu dari Maulana Sa'ad atau Maulana Zubair ra yang diangkat, benar-benar ada ancaman kekerasan nyata terjadi antara orang-orang Delhi & Mewat. Yang pertama menginginkan Ml Zubair ra sebagai Amir dan yang berikutnya menginginkan Ml Sa'ad sebagai Amir.

Oleh karena itu, sebuah kompromi disepakati.

(B) Jika niatnya untuk selalu memiliki 3 orang syura (amir/faisalat), mengapa tak ada semacam pergantian diberlakukan ketika Maulana Izhar Sahab ra meninggal sekitar 20 tahun yang lalu ?

Jawaban : Semua syura diatas, termasuk 3 orang Amir (faisalat) yang ditunjuk (Ml Izhar, Ml Zubair, Ml Sa'ad), tahu bahwa niatnya tak pernah menjadikan sebuah syura untuk menjalankan kerja, tetapi seorang Amir.

(C) Pada musyawarah yang terjadi ketika memilih Amir, mengapa Mufti Zainal Abidn ra & Haji Abdul Wahhab Sahab db menentang keputusan atas 3 Amir ? Mengapa Maulana Sa’id Ahmad Khan Sahab ra juga begitu kecewa dengan keputusan tersebut (namun menerimanya) ?

Jawaban : Karena Qur'an, Hadits dan Atsar Sahabat mendikte bahwa seharusnya hanya ada seorang Amir. Tak ada konsep mengenai keputusan kolektif/bersama dari Syura atau bahkan pergiliran dari para faisalat (pengambil keputusan).

Syariat bukanlah sebuah demokrasi, yaitu tidak ada konsep pengambilan keputusan mayoritas. Kita punya musyawarah. Setelah konsultasi/bermusyawarah ini, maka apapun keputusan Amir, itulah yang akan dikerjakan, apakah itu pendapat/suara minoritas, atau bahkan pendapat dari satu orang saja, meskipun pada umumnya Amir mengambil keputusan berdasarkan suara mayoritas. Meskipun, seorang Amir tak punya keterikatan untuk melakukan hal itu.

Maka dari itu, ketika Maulana Zubair Sahab ra meninggal, Maulana Sa'ad Sahab menjadi Amir secara default (pengaturan aslinya) dan hal ini berdasarkan pada pemahaman dari 10 orang Syura.

Ini mirip dengan situasi sahabat Ali ra yang menjadi Khalifah secara default.

Hazrat Ali ra menjadi khalifah sebab 5 sahabat lainnya yang ditunjuk oleh Umar ra telah meninggal dunia. Beliau ditanya, "Bagaimana kamu menjadi Amir ?" Katanya, "Secara default". Selain itu, catatan kaki pada Kitab Syah Waliullah menyebutkan bahwa orang-orang memberikan bai'at kepadanya pada saat beliau menjadi Amir dan surat-surat dikirim mengkonfirmasi hal ini ke seluruh wilayah.

Selain metode yang telah disebutkan diatas untuk menjadi Amir, Syah Waliullah juga menyebutkan metode lainnya, yang relevan adalah :

(i) Jika seorang menjadi penanggungjawab atas sesuatu hal secara otomatis (istila) yaitu dia telah menangani urusan tertentu tersebut dan telah mengerjakannya selama beberapa lama, lalu secara default dia menjadi Amir & tak ada alasan lain yang diperlukan.

Dalam kasus Maulana Sa'ad Sahab, beliau telah menjalankan urusan-urusan harian Markaz selama kira-kira 20 tahun, mulai dari musyawarah harian sampai pembangunan lantai atas Markaz.

(ii) Orang-orang bermusyawarah & berjanji setia (berbai'at), maka jadilah orang itu sebagai Amir.

Setelah Maulana Zubair ra meninggal, ada sebuah ijtima' di Mewat, ratusan ribu orang berjanji setia (bai'at) kepada Maulana Sa'ad Sahab & Syura yang dibentuk di Nizamuddin juga menerima Maulana Sa'ad sebagai pengambil keputusan pada musyawarah-musyawarah seperti halnya Syura yang ditunjuk oleh Maulana In'amul Hasan Sahab ra.

Bagaimana yang dikatakan sebagai Syuro Alami itu terbentuk ?

Penjelasan Maulana Thariq Jamil adalah bahwa sebuah Syura dibentuk pada tahun 2015 dan diserahkan kepada Haji Sahab yang menandatanganinya. Kemudian hal ini disampaikan kepada Maulana Sa'ad yang menolak hal itu dan berkata, “Tak ada Syura Alami (syuro dunia); hanya ada Musyawarah Alami (musyawarah dunia)”.

5 pertanyaan muncul dari insiden ini :

(a) Siapa yang membuat Syura Alami ini ?
(b) Mengapa dibentuk/Apa kepentingannya/Apakah ada kebutuhan ?
(c) Mengapa Maulana Sa'ad Sahab sebagai Amir tidak diajak berkonsultasi dan hanya disodorkan mengenai keputusan, lalu diminta menandatangani dan menyetujuinya ?
(d) Mengapa Haji Sahab db yang merupakan bagian daripada Syura yang asli, ditunjuk oleh Maulana In'amul Hasan Sahab ra tidak dikonsultasi tapi hanya diminta tanda tangan ?
(e) Bagaimana dengan tanda tangan Haji Sahab db itu sendiri, apakah membawa pengaruh sebuah kevalidan Syura Alami ketika beliau bukan seorang Amir ?

Untuk menjawab semua pertanyaan ini, satu kebutuhan untuk melihat permainan politik dibalik hal ini, mengapa orang-orang menginginkan Syura Alami ?

Menjawab pertanyaan ini berarti membuka sebuah kaleng baru berisi cacing & berpotensi (dituduh) memfitnah.

Oleh karena itu, cukup dikatakan, orang-orang yang berusaha merendahkan Maulana Sa'ad Sahab. Mereka tak berharap Maulana Sa'ad menjadi Amir.

Tak ada yang lebih tinggi/lebih besar daripada fitnah, terlebih kita semakin dekat dengan kiamat.

Catatan sejarah dipenuhi contoh-contoh dari orang-orang lebih besar & para ulama,, daripada mereka yang terlibat dalam masalah perbedaan ini,, yang terlibat perselisihan atau masalah serupa atau bahkan fitnah/ujian yang lebih besar. Maka dari itu, tak dapat disangkal untuk menyatakan bahwa siapapun, terlepas dari kemampuan/kaliber mereka, adalah bebas dari kesalahan (lihat contohnya : A'dabul Ikhtilaf oleh Syaikh Awwamah).

Salah satu dari tanda-tanda pada akhir-akhir ini adalah bahwa kebohongan ditampilkan sebagai kebenaran & kebenaran ditampilkan sebagai kepalsuan.

Mereka yang mengikuti Amir yang benar & Nizamuddin disebut para pemberontak & mereka yang mengikuti Syura Alami yang tidak sah dipandang berada pada kebenaran/Haq.

Terakhir, mengapa Maulana Sa'ad Sahab tidak menyerahkan posisi Amir demi kepentingan kesatuan jamaah ? Beberapa perbedaan pendapat diberikan oleh Ulama (hikmah yang ada seharusnya tidak kritik oleh orang-orang awam) :

(A) Jika Maulana Sa'ad meletakkan "jabatan", boleh dikatakan, (sistem) pengganti saat ini yang diusulkan baik itu merupakan pengambilan keputusan kolektif dari Syuro atau sebuah Syuro dengan pergiliran Faisalat (pengambil keputusan), tidak ada yang terbukti dalam Qur'an, Hadits atau kehidupan Khulafaur Rasyidin.

(B) Segera setelah terpilihnya Amir, adalah wajib untuk memenuhi tanggung jawab dan tidak mundur dari tugas. Apakah Hazrat Utsman ra melepaskan kedudukannya sebagai Khalifah karena ancaman terhadap hidupnya atau demi kepentingan persatuan ummat ? Tidak. Bahkan beliau kehilangan nyawanya mempertahankan posisi Amir.

(C) Jika Amir mundur, Ulama telah menulis bahwa cobaan-cobaan & kesulitan-kesulitan akan lebih besar daripada yang dialami saat ini.

Beberapa point yang berhubungan untuk dipertimbangkan :
• Meskipun sebagai seorang Amir pada masanya, Maulana In'amul Hasan Sahab ra tidak mengklaim untuk menghapus konsep sunnah dari Imarat/kepemimpinan. Tidak ada Amir atau bahkan Khalifah yang akan atau berhak membatalkan bagian apapun dari Syariah yang terdapat dalam Al Qur'an, Hadits dan kehidupan para Sahabat, apalagi merubah perbuatan seperti itu dengan sesuatu yang tidak terbukti bersandar dari sumber-sumber diatas. Untuk meyakini kebalikan mengenai perkara ini, sejumlah fitnahan terbuka tertuju kepada Maulana In'amul Hasan Sahab ra.

• Penetapan dari penunjukan 3 Amir yang dilakukan setelah meninggalnya Maulana In'amul-Hasan Sahab ra, tidak terbukti sebagai penetapan yang beliau kehendaki. Jika hal itu benar, mengapa Haji Abdul Wahhab Sahab db dan Mufti Zainal Abidin ra menentangnya ? Mengapa Maulana Sa’id Ahmad Khan Sahab menunjukkan kesedihannya atas keputusan ini ? Sejumlah ini menjadi bukti dasar yang signifikan untuk menerangkan kesalahpahaman yang dibuat terhadap Amir ketiga kami, bahwa inilah adalah alasan Maulana In'am Sahab ra menunjuk Syura.

• Point diatas juga mencegah siapa pun dari oportunistik (pemahaman yang hanya mengambil keuntungan pribadi/kelompok tanpa dasar prinsip yang ada), mempertahankan fitnah Syura/Imarat terhadap Maulana In'amul Hasan Sahab ra.

• Point yang sama ini juga membuktikan bahwa keputusan mempertahankan 3 Amir pada masa itu, merupakan kasus ekstrim, pilihan terakhir, atau dalam terminologi/istilah lain, darurat, kebutuhan ekstrim, seperti yang sudah dijelaskan diatas. Jika tidak, hali itu belum pernah terjadi sebelumnya !

• Jika Din/Agama kita lengkap dan relevan sampai Qiyamat, bagaimana mungkin satu aspek daripada agama itu sendiri dapat terhapus oleh seseorang, dan diganti dengan sesuatu yang tak memiliki dasar dalam sumber-sumber diatas dari Agama (Qur'an, Hadits, Sahabat) ?

• Apakah para penggerak Syura Alami lebih mengetahui daripada Allah swt (na'udzubillah), bahwa suatu saat akan tiba ketika tak ada seorang yang memiliki kemampuan menjadi seorang Amir ?

• Bagaimana sistem kepemimpinan dengan pergiliran faisalat (pengambil keputusan) pada cara yang dianjurkan oleh Syura Alami, yang tidak terdapat dalam Syariat, diterima atau bahkan dipilih oleh Muslim umumnya (Tablighi) dibanding Imarat/Keamiran ?

• Kita selalu belajar dalam Dakwah Tabligh dan Musyawarah bahwa "tak ada minoritas atau mayoritas pada musyawarah". Hal ini terbukti berdasarkan sumber Agama. Mengapa seorang Amir wajib/terpaksa untuk menerima mayoritas ?

• Terakhir, dalam Musnad Imam Ahmad ra, pada sebuah Hadits diceritakan : “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal-hal kedurhakaan kepada Khaliq” (dalam artinya). Khaliq telah memilih dengan sangat jelas Imarat/Keamiran sebagai metode pilihanNya.

(Team London)